Scroll ke bawah untuk membaca
Example floating
Example floating
Post ADS
Opini

Etika dan Moralitas

129
×

Etika dan Moralitas

Sebarkan artikel ini
Post ADS

Hari ini masyarakat Gorontalo yang berada di kedai- kedai kopi dan WhatsApp group senang bicara persoalan etika dan moralitas dalam jabatan publik. Tentang persoalan nikah siri dan berhubungan dengan bukan muhrim kita.

Apalagi di Gorontalo yang adat istiadat masih kental, dan merupakan sebuah tatanan kebudayaan serta tradisi dari para leluhur terdahulu yang terus diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi sebuah peradaban berkarakter serta berkepribadian luhur. Tapi, apakah dalam Agama Islam dan adat istiadat Gorontalo, mana yang dilarang, memiliki istri siri atau berhubungan dengan bukan muhrim kita.

Scroll untuk lanjut membaca
Advertisement

Karena, antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah “Adat bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Kitabullah”.

Namun, jika melihat lagi kehidupan pada masa kerajaan jaman dahulu, kita mendengar cerita dari orang-tua yang disebut Ratu, permaisuri, dan selir, merupakan bagian kehidupan kerajaan atau penguasa.

Jika melihat kehidupan saat ini bukan masa kerajaan, maka segala persoalan yang ada harus kembalikan pada peraturan dan perundang- undangan yang berlaku, apalagi sudah masalah pribadi. Agar tidak ada lagi pertentangan, perbedaan pendapat dan semacamnya hanya karena urusan pribadi seseorang.

Pasalnya, dalam hukum negara, pernikahan hanya diakui bila sah secara agama dan dicatat oleh penghulu resmi atau Pegawai Pencatat Nikah. Nah, dalam pernikahan siri, pasangan tidak memiliki bukti resmi dan bisa dicurigai melakukan perbuatan zina sehingga diancam pidana. Jika melihat semua persoalan yang ada “Hanya Pengakuan Yang Dibutuhkan”.

Untuk itu, ada salah satu Tuja’I Gorontalo dilansir dari ikbud.go.id yang harus diamalkan para penguasa di daerah ini yaitu Huta, huta lo ito Eya (Tanah milik Tuanku), Tulu,tulu lo ito Eya (Api, milik tuanku), Dupoto, dupoto lo ito Eya (Angin, angin milik Tuanku), Tawu, tawu lo ito Eya (Rakyat, rakyat milik Tuanku), Bo dia Poluliya hilawo eyanggu (Tapi jangan sesuka hati Tuanku).

Tuju’I ini merupakan pesan untuk Olongia agar tidak sewenang-wenang menjalankan kekuasaan atau dengan kata lain, kekuasaan tidak terbatas, punya wewenang tapi tidak sewenang-wenang. Datahu lo huntu Hu’idu (Dataran menjunjung gunung). Hal ini merupakan pesan agar tidak menjalankan kekuasaan yang otoriter, semua tunduk pada penguasa dan segala keputusan didukung oleh adat. Guna menghindari sifat Datahu lo huntu hu,idu kekuasaan Olongia kemudian dibatasi menjadi Hu’idu lo huntu Datahu dan kemudian disempurnakan dengan kalimat Bo Dila poluliya Hilawo Eyanggu (jangan menuruti nafsu tuanku).*””

Share :