Oleh:
Dr. Endi Rahman, SE.,MM
Penulis adalah Dosen Tetap di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Gorontalo & Praktisi Konsultan Manajemen Perusahaan
Tahun 2024 depan kita akan menggelar perhelatan politik akbar yakni Pemilu 5 tahunan yang tahapannya telah dimulai sejak Juni 2022 lalu oleh KPU. Pemilu kali ini secara serentak akan memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (Pileg) dan juga Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (Pilpres) serta Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Sebagai warga negara tentu saja kita menginginkan Pemilu yang terlaksana dengan aman, damai dalam suasana sejuk. Perbedaan pilihan politik setiap individu sudah pasti berpotensi menghasilkan riak – riak konflik dalam interaksi masyarakat selama Pemilu berlangsung. Tugas kita sebagai warga negara adalah tetap menjaga riak – riak tersebut agar tidak menjelma menjadi bibit permusuhan. Semangat persaudaraan harus tetap digelorakan walaupun berada dalam afiliasi politik yang berbeda. Jargon “Politik Santun dan beretika”, “Demokrasi Riang dan Gembira” yang sering digaungkan oleh tokoh – tokoh politik di berbagai media saat ini, mudah – mudahan bukan sekedar lipsinc atau gimick saja untuk menarik simpati. Salah satu tahapan pemilihan yang seru dan paling ditunggu adalah Pilpres dan Pilkada. Yup. Tahapan ini akan memilih Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah. Seluruh masyarakat dan juga termasuk penulis, menantikan nakhoda baru pemerintahan nasional dan daerah, hasil dari Pemilu yang jujur, adil dan berkualitas. Semoga.
Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota adalah contoh pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Setiap pemimpin yang terpilih, sejatinya merupakan representasi dari kemauan rakyat atas figur yang diinginkan untuk memimpin. Dalam setiap kontestasi pilpres maupun pilkada, calon pemimpin menawarkan janji – janji kampanye yang tertuang dalam visi dan misi, rencana dan program kerja, sebagai bahan “jualan” kepada masyarakat atau konstituennya masing – masing agar bisa menang. Entah janji – janji kampanye itu akan ditepati atau tidak setelah terpilih nanti, masyarakat hanya bisa berharap dalam ketidakpastian.
Kita semua berharap, pemimpin nasional maupun pemimpin daerah yang akan terpilih nanti adalah pemimpin yang “Ideal” bagi bangsa ini. Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “ideal” mengandung makna “sangat sesuai dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki”. Namun, “ideal” bagi setiap orang tentu akan berbeda dalam persepsi dan penafsiran. Dan setiap figur calon pemimpin yang akan ambil bagian dalam kontestasi pilpres maupun pilkada, akan berusaha menjadi pemimpin yang ideal sesuai dengan persepsi dan penafsirannya sendiri.
Sesuai judul dari tulisan ini, “Mencari Pemimpin Ideal”, penulis mencoba menyusun kepingan – kepingan kriteria yang mungkin mendekati kriteria seorang pemimpin ideal, berdasarkan teori, konsep kepemimpinan dan konsep manajemen dari berbagai literatur dan referensi yang ada. Tentu saja kriteria ideal tersebut bukanlah kriteria mutlak menurut versi penulis. Kriteria pemimpin ideal yang dimaksud dalam tulisan ini hanya sebagai salah satu preferensi dari sekian banyak, yang mungkin saja mempunyai kesamaan dengan figur pemimpin – pemimpin yang memenangkan proses pemilihan nanti.
Ada 8 kriteria yang setidaknya harus dimiliki seorang pemimpin ideal menurut versi penulis,
Pertama, A Leader Who Has Analytical Skill (Pemimpin Yang Punya Kemampuan Menganalisa)
Berbagai teori tentang kepemimpinan yang efektif dan dari pengalaman banyak orang menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tak lagi terletak pada kemampuannya untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat teknis operasional, melainkan pada kemampuannya untuk berpikir. Cara dan kemampuan untuk berpikir yang diperlukan adalah integralistik, strategik, dan berorientasi pada pemecahan masalah (problem solver oriented).
Cara berpikir yang integralistik menuntut kemampuan analitik sedemikian rupa sehingga menumbuhkan sikap yang memperlakukan organisasi besar (Negara, Provinsi) sebagai satuan yang bulat meskipun di dalamnya terdapat berbagai satuan kerja yang menyelenggarakan berbagai kegiatan dengan aneka ragam spesialisasi.
Kemudian cara berpikir yang strategik pada dasarnya mengandung arti bahwa bahwa seorang pejabat pimpinan harus mampu menganalisis mana diantara berbagai kegiatan/program organisasional yang harus diselenggarakan sendiri, baik menurut sifatnya ataupun karena dampaknya, dan mana yang seyogyanya diserahkan kepada bawahan, lengkap dengan alasan – alasannya.
Selanjutnya cara berpikir yang berorientasi pada pemecahan masalah jelas menuntut kemampuan analitik, mulai dari identifikasi hakikat masalah yang dihadapi, pengumpulan dan penelaahan informasi yang diperlukan, analisis berbagai alternatif pemecahan masalah yang mungkin ditempuh, penentuan pilihan pemecahan sedemikian rupa sehingga pelaksanaannya benar – benar membawa organisasi kepada pemecahan yang tuntas serta dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, kemampuan analitik harus tercermin pada kemampuan diagnostik dan prognosa yang tepat sehingga tindakan yang diambil dalam bentuk keputusan, benar – benar menghilangkan sumber permasalahan dengan segera.
Kedua, A Leader Who Has Adaptive Skills (Pemimpin Yang Punya Kemampuan Beradaptasi)
Kepemimpinan sejatinya selalu bersifat situasional, kondisional, temporal dan spatial yang berarti bahwa gaya kepemimpinan seseorang, misalnya gaya yang demokratik, tidak mungkin dapat diterapkan secara sangat konsisten tanpa memperhitungkan situasi dan kondisi yang dihadapi, faktor waktu, dan faktor ruang. Efektivitas kepemimpinan seseorang memerlukan sikap yang adaptif. Di sinilah nampak “seni” dalam memimpin yang dapat dilihat dalam wujud berikut :
a. seorang pimpinan tidak akan mudah melakukan generalisasi, melainkan melihat setiap situasi sebagai hal yang unik/khas,
b. dalam memecahkan masalah, ia tidak akan terperangkap oleh cara pemecahan tertentu hanya karena cara tersebut pernah digunakannya di masa lalu dan dinilai membuahkan pemecahan yang diharapkan,
c. dalam berkomunikasi dengan orang lain, gaya, teknik, dan bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat pengetahuan, kedewasaan, dan kondisi pihak dengan siapa dia berkomunikasi.
Apalagi di masa depan, tantangan yang akan dihadapi semakin berat. Pemimpin dalam organisasi pemerintahan dihadapkan pada perkembangan global yang semakin kompetitif di segala bidang. Untuk itu kemampuan beradaptasi dengan segala perubahan yang cepat, mutlak diperlukan oleh seorang pemimpin, terutama dalam mengelola komunikasi dengan perangkat organisasinya.
Ketiga, A Leader Who Has Educational Skills (Pemimpin Yang Mempunyai Keterampilan Mendidik)
Disenangi atau tidak, setiap pejabat pimpinan adalah seorang pendidik. Mendidik di sini diartikan secara luas, tidak terbatas hanya pada cara – cara mendidik yang ditempuh secara formal. Misalnya jika seorang pimpinan melihat seorang bawahannya melaksanakan tugas dengan cara yang tidak atau kurang tepat, kemudian menunjukkan cara yang benar, pimpinan inilah sesungguhnya telah melakukan peranan sebagai pendidik. Kalau seorang pimpinan menunjukkan sikap dan perilaku yang pantas untuk ditiru oleh orang lain, ia pun telah memainkan perannya sebagai pendidik. Pun ketika pemimpin mampu memberikan arahan pada para bawahannya untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota organisasi, ia pun telah menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik.
Jelaslah bahwa kemampuan menggunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kemampuan bawahan, mengubah sikap dan perilakunya serta meningkatkan dedikasinya kepada organisasi merupakan pencerminan peran seorang pemimpin sebagai pendidik.
Keempat, A Bravely of Taking Risk Leader (Pemimpin Yang Berani Mengambil Risiko)
Salah satu ciri kehidupan manajerial adalah terdapatnya berbagai jenis risiko dalam mengemudikan dan menjalankan roda organisasi. Risiko dapat timbul karena faktor – faktor internal maupun eksternal. Salah satu contohnya adalah dalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan adalah usaha sadar dan penuh perhitungan yang dilakukan seseorang untuk mengatasi situasi problematik. Yang berarti bahwa ada hal tertentu yang perlu diluruskan agar roda organisasi (pemerintahan) tetap berada pada jalur yang benar. Dan salah satu tujuan utama dan manfaat pengambilan keputusan adalah memecahkan masalah tertentu.
Pengalaman banyak orang menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang paling matang sekalipun tetap mengandung risiko ketidaktepatan atau ketidakberhasilan. Artinya, betapapun matangnya langkah – langkah dalam proses pengambilan keputusan yang diambil, mulai dari identifikasi masalah, pengumpulan dan pengolahan informasi, identifikasi berbagai alternatif yang mungkin ditempuh di sertai analisisnya, pemilihan alternatif yang dipandang tepat, tetap tak bisa memberikan jaminan mutlak bahwa keputusan yang diambil merupakan keputusan yang paling tepat.
Di sinilah keberanian seorang pemimpin dibutuhkan untuk memutuskan suatu keputusan akhir berdasarkan intuisi dan analisis yang rasional tanpa keraguan terhadap suatu keadaan seperti:
a. Ancaman yang mungkin timbul
b. Gangguan yang perlu dihilangkan
c. Hambatan yang perlu dieliminasi
d. Perubahan sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang mungkin timbul
e. Peluang yang bisa dimanfaatkan
f. Daya tahan organisasi berdasarkan kemampuan yang sekarang dimiliki
Kelima, A Leader Who Has The Ability to Set Priority Goals (Pemimpin yang memiliki Kemampuan Menentukan Skala Prioritas)
Pembangunan nasional suatu negara merupakan contoh yang sangat baik dalam menganalisis pentingnya penentuan skala prioritas yang tepat. Hal yang sangat umum ditemukan dalam strategi pembangunan nasional di kalangan negara Dunia Ketiga bahwa pembangunan nasional diselenggarakan dengan pendekatan keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kesinambungan. Pendekatan demikian digunakan karena disadari betul bahwa seluruh sendi kehidupan dan penghidupan harus dibangun dalam usaha meningkatkan mutu hidup seluruh rakyat di negara bersangkutan. Jika pendekatan tersebut dianut secara murni dan diselenggarakan secara kaku, ini berarti bahwa semua bidang pembangunan negara harus ditangani dengan tingkat intensitas yang sama. Artinya kesemuanya akan berada pada satu kelas peringkat.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun yang mampu melakukannya. Selalu saja ada negara yang ternyata mendahulukan bidang tertentu, yaitu bidang yang dipandang merupakan wilayah permasalahan yang harus mendapat perhatian utama terlebih dahulu dan memperoleh alokasi dana, tenaga, waktu, dan upaya yang terbesar. Jelasnya ada skala prioritas tertentu yang menggambarkan bidang apa yang didahulukan tanpa mengabaikan bidang – bidang lainnya. Ada negara yang meletakkan prioritasnya pada sektor industri, tidak jarang negara yang menempatkan prioritasnya pada sektor pertanian. Demikian seterusnya hingga terlihat skala prioritas hingga tingkat sub sektor dan tingkat proyek, yang kesemuanya bertitik tolak dari skala prioritas pembangunan nasional.
Di kalangan para ahli pemikir manajemen moderen dikenal suatu akronim “SWOT” yang merupakan singkatan dari Strenght, Weakness, Opportunity dan Threats. Keempat hal tersebut biasa digunakan dalam menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman sebagai titik tolak dalam menentukan strategi organisasi. Akan tetapi pengamatan menunjukkan bahwa keempat hal tersebut tepat pula digunakan dalam menentukan tingkat peringkat prioritas kerja dalam suatu organisasi. Artinya, seorang pimpinan suatu negara contohnya, dapat menganalisis keempat hal tersebut dalam menjalankan kepemimpinannya, khususnya dalam pengambilan keputusan yang bermuara pada terciptanya suatu skala prioritas dalam pembangunan. Dalam prakteknya, efektifitas kepemimpinan seorang pimpinan negara akan meningkat jika ia dengan tepat menyadari dan mampu mengidentifikasi faktor – faktor apa saja yang menjadi kekuatan negara yang dipimpinnya.
Selanjutnya pemimpin juga harus menyadari berbagai faktor kelemahan yang melekat dalam organisasi pemerintahannya, kemudian apa saja berbagai peluang yang perlu segera dikenali dan dimanfaatkan. Kemampuan memecahkan masalah termasuk bagian penting dari pemanfaatan peluang yang ada. Terakhir, tidak dapat disangkal bahwa di setiap organisasi pemerintahan negara ada potensi ancaman baik dalam bentuk gangguan maupun hambatan yang perlu diwaspadai mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Keenam, A Leader As a Role Model. (Pemimpin sebagai Teladan)
Sering kita mendengar sebuah ungkapan atau anekdot bahwa jika seorang anak kecil ditanya kelak ia ingin jadi apa ketika dewasa nanti, jawaban yang paling sering terdengar adalah “ingin seperti bapak”. Dari ungkapan tersebut tampak bahwa dalam kehidupan bersama “Fatherly Figure” merupakan hal yang sangat penting. “Fatherly figure” disini tidak diartikan secara harfiah karena “fatherly figure” itu dapat dimiliki oleh seseorang yang dihormati, disegani, seorang tokoh atau seorang idola. Singkatnya seseorang yang dinilai pantas dijadikan sebagai panutan dan teladan dalam sikap, tindak tanduk, dan perilaku.
Seorang pimpinan harus mampu memproyeksikan kepribadian yang demikian yang tercermin, antara lain dalam bentuk kesetiaan pada organisasi, perhatian kepada bawahan, dedikasi kepada tugas, disiplin kerja, landasan moral dan etika yang digunakan, kejujuran, perhatian kepada kepentingan dan kebutuhan bawahan dan berbagai nilai – nilai hidup lainnya yang bersifat positif. Efektivitas kepemimpinan seseorang akan lebih besar lagi apabila keteladanannya tidak hanya tercermin dalam kehidupan organisasional, akan tetapi juga tercermin dalam kehidupan pribadinya, seperti keluarga yang harmonis, gaya hidup yang sesuai dengan kemampuan dengan memperhitungkan keadaan lingkungan, dan kepekaan terhadap kondisi sosial sekitarnya.
Keteladanan sangat penting karena para bawahan sesungguhnya menggunakan criterion yang sangat sederhana saja, tetapi mempunyai makna yang sangat mendalam, yaitu: keteladanan seseorang terlihat dari apa yang dilakukan seseorang dan bukan apa yang dikatakannya. Keteladanan antara lain berarti melakukan hal – hal yang tidak boleh dilakukan, baik karena keterikatan kepada peraturan perundang – undangan yang berlaku, maupun karena limitasi yang ditentukan oleh nilai -nilai moral, etika dan sosial. Sangat fundamental untuk dinyatakan ialah adanya disiplin pribadi yang tinggi karena dari disiplin pribadi yang tinggi itulah “ mengalir” beberapa manifestasi keteladanan tersebut.
Ketujuh, A Future Oriented Leader (Pemimpin Berorientasi Masa Depan)
Apabila seorang pemimpin tergolong tradisionalist, orientasi waktunya akan ditujukan kepada masa lalu dan bernostalgia akan menjadi ciri utamanya. Jika dia seorang yang tergolong oportunis, orientasinya adalah masa sekarang yang berarti mempunyai berbagai ciri seperti: ingin segera menikmati hasil pekerjaannya, wawasan hidup yang sempit, dan ketidakberanian mengambil risiko besar. Dan apabila seorang pemimpin tergolong sebagai developmentalist, maka orientasi waktunya adalah orientasi masa depan. Secara kategorikal dapat dinyatakan bahwa orientasi masa depanlah yang diharapkan dimiliki oleh seorang pemimpin.
Untuk dapat menentukan suatu bentuk orientasi masa depan yang tepat diperlukan suatu “ potret” tiga dimensi dari organisasi yang dipimpinnya yaitu masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Pentingnya mengenali masa lalu organisasi terlihat pada pengetahuan dan persepsi yang tepat tentang dua hal, yaitu: keberhasilan yang diraih beserta faktor – faktor pendukungnya dan kekurang berhasilan atau bahkan mungkin kegagalan beserta faktor – faktor penyebabnya. Maksudnya adalah untuk belajar dari pengalaman masa lalu itu agar:
a. Keberhasilan dijadikan modal untuk terus dikembangkan
b. Kekurang berhasilan atau kegagalan dijadikan bahan pelajaran agar kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu itu tidak terulang kembali.
Pentingnya mengenali masa sekarang terletak pada manfaatnya untuk menentukan arah dan strategi yang akan ditempuh di masa akan datang.
Mengenali masa sekarang antara lain adanya kejelasan tentang status dan posisi nyata berdasarkan fakta – fakta dan bukan berdasarkan pesan atau perasaan.
Berdasarkan kedua hal itulah, masa depan organisasi direncanakan. Agar dapat merencanakan masa depan yang diinginkan dengan baik, perlu diperkirakan secara tepat empat hal, yakni:
1. Kekuatan yang dimiliki organisasi;
2. Kelemahan yang mungkin secara inheren atau artifisial melekat pada tubuh organisasi;
3. Kepentingan berbagai pihak menjadi “stakeholder” bagi organisasi, yaitu semua pihak yang berkepentingan dalam keberhasilan organisasi mencapai tujuan dan sasarannya;
4. Perkembangan dan perubahan yang diperkirakan akan timbul dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, keamanan, pendidikan, dan bidang teknologi, terutama perkembangan dan perubahan yang mempunyai dampak langsung bagi organisasi.
Merencanakan masa depan yang diinginkan berarti mendekatkan organisasi di masa depan dengan kondisi masa depan yang sesungguhnya. Untuk maksud tersebut, seyogyanya disusun berbagai alternatif rencana sehingga apabila situasi nyata menghendakinya, segera dapat dilakukan pilihan dari berbagai rencana yang telah disusun tersebut. Tegasnya, diperlukan “contingency plan”.
Kedelapan, A Leader As an Integrator (Pemimpin Sebagai Pemersatu).
Dalam kehidupan organisasional sering timbul kecenderungan berpikir dan bertindak berkotak – kotak di kalangan para anggota organisasi. Seorang pimpinan yang efektif dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya sudah tentu tidak akan membiarkan cara berpikir dan bertindak demikian karena organisasi yang diharapkan mampu mencapai tujuannya dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang tinggi hanyalah organisasi yang bergerak sebagai satu totalitas. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa suatu organisasi moderen akan tersusun dalam suatu struktur yang menggambarkan fungsi, tugas, dan kegiatan yang beraneka ragam, keanekaragaman itu tidak menghilangkan perlunya interaksi, interrelasi dan interdependensi yang didasarkan pada prinsip symbiosis mutualism. Artinya, dalam satu organisasi tidak ada tujuan atau sasaran kelompok yang bersifat mutually exclusive.
Memang merupakan kenyataan pula bahwa pada berbagai desakan tertentu, seperti desakan waktu, desakan skala prioritas, desakan kebijaksanaan baru, desakan perkembangan dan pemanfaatan teknologi dan lain sebagainya, mungkin saja timbul keharusan menunjuk dan memperlakukan satuan kerja tertentu sebagai “ satuan kerja strategik”. Situasi keharusan demikian sering dihadapi oleh semua jenis organisasi, di dalam dan di luar lingkungan organisasi. Misalnya di lingkungan pemerintahan. Jika pada suatu waktu tertentu terdapat persepsi bahwa keselamatan negara terancam dengan kemungkinan serangan dari pihak asing, maka angkatan bersenjata negara bersangkutan akan diperlakukan sebagai satuan kerja yang paling strategik.
Atau, jika dalam pembangunan nasional, ekspor dari hasil komoditas pertanian sangat dominan peranannya dalam penerimaan devisa negara, instansi yang mengurus bidang pertanian di negara tersebut mungkin sekali akan diperlakukan sebagai satuan kerja strategik. Hanya saja perlu ditekankan bahwa memperlakukan satuan kerja tertentu sebagai satuan kerja strategik, tidak serta merta menghilangkan kebutuhan dukungan dari satuan – satuan kerja lain. Dukungan tersebut dapat bersifat langsung, tetapi dapat pula bersifat tidak langsung. Dengan satuan kerja lain yang dukungannya bersifat langsung, interaksi yang timbul akan berlangsung intensif sedangkan dengan satuan kerja yang dukungannya bersifat tidak langsung, bentuk dan jenis interaksi yang timbul pun akan berlainan.
Hal senada dapat dicontohkan pada sebuah organisasi perusahaan. Tidak mustahil bahwa karena situasi yang dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan, misalnya meningkatnya permintaan atas produk yang dihasilkannya, divisi produk dipandang dan diperlukan sebagai satuan kerja strategik. Akan tetapi dalam hal merebut pasar yang lebih luas, maka divisi pemasaran lah yang diperlukan sebagai satuan kerja strategik. Demikian halnya pada produktivitas yang rendah, disiplin yang mengendor, tingkat kemangkiran tinggi, atau banyak terjadi turn over pegawai, maka kemungkinan besar satuan kerja yang menangani bidang kepegawaian (HRD) yang akan menjadi satuan kerja strategik. Demikian seterusnya.
Dari contoh – contoh tadi, terlihat adanya pembagian tugas, sistem alokasi sumber daya, dana, tenaga, serta diperlukannya spesialisasi pengetahuan dan keterampilan yang dapat menimbulkan sikap, perilaku, dan tindakan yang berkotak – kotak dan oleh karenanya tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Atas keadaan tersebut, diperlukan integrator terutama pada hirarki puncak organisasi. Integrator adalah sang pimpinan. Setiap pejabat pimpinan, terlepas dari hirarki jabatannya dalam organisasi, sesungguhnya adalah integrator. Hanya saja cakupan dan intensitasnya berbeda – beda. Dalam artian bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam hirarki kepemimpinan dalam organisasi, semakin penting pula makna peranan tersebut. Hanya pimpinanlah yang berada “ di atas semua orang dan semua satuan kerja” yang memungkinkannya menjalankan peranan integratif yang didasarkan pada pendekatan yang holistik.
So, itulah kriteria calon pemimpin yang ideal versi penulis. Apakah kedelapan kriteria itu terkesan terlalu “perfect”, susah untuk dicari sosoknya, atau bahkan “Impossible” seperti halnya misi mustahil yang dilakukan oleh Aktor kawakan Tom Cruise dalam Film Mission Impossible?. Jawabannya tergantung pada keyakinan kita masing – masing, apakah sosok pemimpin ideal itu hanyalah dalam angan – angan ataukah benar – benar ada dan nyata? Nothing’s Impossible!