Oleh :
Dr. Endi Rahman, SE., MM., CTFAIA
Saat ini kita sedang dilanda musim kemarau yang diprediksi akan berlangsung lebih lama. Yes.. That’s true. Beberapa bulan terakhir kita memang sedang ‘menikmati’ teriknya sinar matahari yang terasa sangat menyengat. Tentu saja kita harus bersiap menghadapi segala dampak musim kemarau ini. Jika kita lihat dari sisi positifnya, musim kemarau bagi sektor pertanian ditandai meningkatnya kualitas panen buah-buahan dari tanaman pohon, karena pada saat kering proses pembungaan pada tanaman buah akan berlangsung dengan baik. Berbeda halnya jika terjadi hujan maka pembungaan tersebut akan terganggu karena mudah gugur dan membusuk.
Demikian juga pada tanaman seperti cengkeh. Umumnya jika curah hujan pada fase pembungaan tidak tinggi maka produksi cengkeh akan meningkat. Dampak positif musim kemarau lainnya pada sektor pertanian adalah peluang untuk menanam palawija. Kekurangan air untuk padi sawah dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman yang tidak membutuhkan banyak air seperti jagung dan kedelai. Di lain pihak, petani garam juga akan merasakan sisi positif kemarau. Saat panen, produksi garam akan meningkat karena panas yang maksimal.
Pun di saat kemarau, beberapa produksi pertanian seperti cabai juga mengalami penurunan. Namun hal ini akan diikuti oleh kenaikan harganya yang cukup tinggi, sehingga memberikan keuntungan yang berlipat bagi petani cabai. Selain itu dampak pada sektor ekonomi juga dapat dirasakan oleh pelaku usaha lain seperti usaha ikan asin karena proses penjemuran akan sangat cepat sehingga produksi mereka meningkat.
Hal – hal positif dari dampak kemarau tersebut di atas bisa terwujud manakala didukung oleh supporting system dari pemerintah pusat maupun daerah. Salah satunya adalah melakukan manajemen data pangan yang menjadi kunci penting untuk mengantisipasi dampak kemarau ekstrim di Indonesia. Dengan adanya manajemen data pangan, akan menjadi dasar pengambilan kebijakan oleh pemerintah untuk memitigasi risiko dari dampak kemarau panjang.
Keberadaan data kebutuhan permintaan bahan pangan penting seperti beras dan komoditas pangan lainnya untuk kebutuhan rumah tangga dan industri memerlukan penyesuaian dengan data produksi. Dengan data yang tersinkronisasi dengan baik, bisa menjadi modal awal untuk pengambilan langkah-langkah pemerintah dalam upaya untuk menyeimbangkan permintaan dengan pasokan. Terlebih pada saat terjadi kemarau berkepanjangan bisa berakibat gagal panen.
Berdasarkan informasi permintaan kebutuhan pangan dan mitigasi risiko dampak tersebut, maka kebijakan yang diambil pemerintah akan lebih tepat sasaran, khususnya dalam upaya untuk menjaga stabilitas harga pangan. Stabilitas harga pangan, merupakan salah satu hal yang sangat penting karena berkaitan langsung dengan angka kemiskinan di Indonesia. Mengingat bahwa sebagian besar kelompok masyarakat mengalokasikan pendapatan untuk kebutuhan pangan. Jika harga pangan naik, maka otomatis garis kemiskinan naik. Sehingga ketika garis kemiskinan naik dan pendapatan tetap, maka akan semakin banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan.
Badan Pangan Nasional (NFA) dalam rilisnya beberapa pekan lalu telah menyatakan siap siaga bila produksi beras nasional pada tahun ini mengalami penurunan akibat iklim kemarau ekstrim. Penurunan produksi diproyeksi mencapai 5% bahkan bisa mencapai 7%. Beberapa Ekonom nasional pun menilai bahwa risiko inflasi dari harga beras ke depan masih relatif tinggi. Sebab, harga pupuk yang tak kunjung turun serta risiko dari dampak fenomena kemarau yang sedang berlangsung saat ini.
Hal tersebut terlihat pada rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras eceran naik 1,43 persen secara bulanan (mtm) pada Agustus 2023, sedangkan secara tahunan naik 13,76 persen (yoy). Beras menjadi komoditas yang menyumbang inflasi terbesar pada Agustus 2023, yakni sebesar 0,05 persen. Tingkat inflasi tahunan Indonesia pada Agustus tercatat 3,27 persen (yoy). Inflasi beras pada Agustus terjadi peningkatan setelah sempat melandai pada Mei, Juni, dan Juli lalu.
Untuk itu program revitalisasi terhadap industri penggilingan padi perlu dijalankan agar tak kalah saing dan dapat meningkatkan kualitas giling menjadi beras premium. Antisipasi lain yang perlu dilakukan dalam mengatasi dampak kemarau ini adalah melalui upaya diversifikasi pangan karena Indonesia memiliki keragaman sumber daya pangan.
Sesuai data dari Pola Pangan Harapan (PPH), Indonesia saat ini masih mengalami kelebihan konsumsi padi-padian, minyak lemak, dan gula. Sementara secara nasional, masyarakat kita kekurangan konsumsi umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur mayur, dan buah-buahan. Sehingga kita perlu menggalakkan diversifikasi pangan bagi masyarakat, misalnya dengan mengganti konsumsi ke kentang, ubi kayu, jagung, dan bahan pokok lainnya.
Dan kita tak boleh lupa bahwa manajemen ketersediaan air bersih merupakan hal vital untuk menjamin ketahanan produksi pangan di daerah. Pemerintah Daerah melalui Dinas PUPR harus dapat mengoptimalkan manajemen irigasi secara efisien dan efektif sehingga kelangsungan ketahanan pangan bisa terjaga. Dengan manajemen irigasi ini juga salah satunya adalah menghindari adanya aksi rebutan air yang kerap terjadi antar petani, terlebih saat musim kemarau yang melanda saat ini.
Oleh sebab itu, ketahanan pangan di setiap daerah patut dijaga, karena dapat menjamin kelangsungan ketahanan ekonomi masyarakat, khususnya bagi keluarga – keluarga yang menggantungkan hidupnya dari usaha di sektor pangan. Pemerintah Pusat maupun Daerah seyogyanya berkolaborasi dengan Akademisi, BUMN/BUMD, Masyarakat, dan juga Pelaku Usaha untuk mengambil peran dalam menjaga ketahanan pangan dari ancaman kemarau panjang.
Akhir kata..Mari tetap jaga doa dan ikhtiar kita agar kemarau ini segera berlalu sembari menikmati teriknya sinar matahari dengan segelas Es Cendol.Wow..Sungguh nikmat !