GOSULUT.ID – Paling penting bagi seorang pejabat di Gorontalo harus bermoral karena mereka adalah panutan masyarakat dan contoh bagi aparatur birokrasi. Moralitas pejabat publik sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan memastikan pemerintahan berjalan dengan baik.
Pejabat yang bermoral akan bertindak dengan etika, bertanggung jawab, dan adil, sehingga dapat menginspirasi dan memotivasi masyarakat untuk mengikuti teladan mereka.
Terkait maraknya perbuatan Amoral di daerah adat yang menimpa para oknum pejabat. Ada yang sudah terungkap, dan ada masih dalam bisik-bisik tetangga, tinggal menunggu waktu tepat meledaknya.
Maka Gubernur/Bupati/Wali Kota dalam menempatkan pejabat dibawah pemerintahannya harus mematuhi prinsip falsafah Gorontalo “Aadati hula-hula to Sara’, Sara’ hula-hula to Kuru’ani” yang berarti adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Al-Quran, menekankan pentingnya moralitas dan integritas dalam kehidupan masyarakat Gorontalo, termasuk dalam pemerintahan.
Menurut Meys Kiraman salah satu pentolan organisasi dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organisasi mahasiswa Islam di Indonesia yang lahir pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya merasa aneh terkait sorotan publik tentang tiga nama yang disodorkan Ketua Tim Panitia Seleksi (Pansel) Sekertaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gorontalo (Kabgor), Prof. Rauf A Hatu atas tiga nama yakni Manaf Dungio, Cokro Katili, Sugondo Makmur yang telah melewati proses seleksi begitu panjang. Dari masa Mantan Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingo, lalu dilanjutkan tahapannya oleh Bupati Sofyan Puhi.
“Bagaimana hasil seleksi yang sudah melalui proses administrasi harus menjadi polemik hanya karena adanya mantan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi salah satu yang bisa lolos tiga besar. Apalagi salah satu syarat dalam pencalonan Sekda harus memiliki SKCK atau Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Disinilah bisa terlihat, bahwa yang terlarang tersebut hanya organisasinya, dan bukan orangnya,” ungkap anak muda Nahdatul Ulama (NU) tersebut.
Kata Meys, siapa bilang mantan pengurus HTI dilarang menjabat di pemerintahan.
“Namun, pemerintah memiliki hak untuk mengevaluasi dan menolak jika calon pejabat dinilai memiliki potensi mengancam stabilitas negara, termasuk bagi mereka yang masih terlibat dalam aktivitas yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Jika yang bersangkutan masih melakukan kegiatannya setelah organisasi dinyatakan dilarang oleh negara,” katanya.
Lanjutnya, bahkan hingga saat ini belum ada ASN yang diduga ikut dalam organisasi HTI harus dipecat dalam keputusan pemerintah.
Sehingga jangan jadikan alasan mantan anggota HTI haram hukumnya untuk menduduki jabatan tertentu. Dan sampai hari ini yang bersangkutan masih menerima gaji dari negara.
“Maka pak Bupati dan Wabup Gorontalo harus objektif melihat serta menilai semua ini,” imbuh Meys.
Ia pun membandingkan apa bedanya HTI dengan mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf dikenal sebagai Mualem yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Aceh periode 2025–2030.
“Namun semua terpulang pada Bupati Sofyan Puhi dan Wabup Tonny S Junus sebagai pengguna,” terangnya.
Terakhir, Meys Kiraman menegaskan, bahwa kejahatan terberat yang menjadi musuh Negara adalah korupsi, karena bisa merusak tatanan dan bangunan bernegara.