Oleh: Dr. Endi Rahman, SE., MM., CTFAIA
Akademisi dan Pemerhati Perbankan
GOSULUT.ID – Rencana pembentukan Bank Gorontalo kembali mencuat ke permukaan. Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru, namun perdebatan soal peluang dan tantangannya kini semakin menarik untuk dikaji secara lebih serius.
Bank SulutGo sendiri memiliki sejarah panjang. Didirikan pertama kali pada 1961 dengan nama PT. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara, bank ini lahir sebagai instrumen perbankan daerah untuk mendukung pembangunan ekonomi lokal di Sulawesi Utara.
Seiring pemekaran Provinsi Gorontalo tahun 2000, Bank Sulut membuka ruang bagi partisipasi Pemerintah Provinsi Gorontalo dan kabupaten/kota di Gorontalo sebagai pemegang saham. Tahun 2016, nama bank ini resmi berubah menjadi Bank SulutGo (PT. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo) sebagai simbol penguatan peran Gorontalo dalam kepemilikan dan operasional bank.
Apalagi, komposisi kepemilikan saham di Bank SulutGo selama ini seringkali menjadi sorotan. Sebagai bank milik pemerintah daerah, porsi saham terbesar memang dikuasai oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Namun, menariknya, pemegang saham terbesar kedua justru berasal dari sektor swasta, yakni PT. Mega Corpora — perusahaan milik konglomerasi Chairul Tanjung.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Gorontalo dan seluruh kabupaten/kota di wilayahnya justru berada dalam posisi pemegang saham minoritas, dengan kepemilikan berkisar 10-12% saja.
Fakta ini memunculkan kekhawatiran tersendiri: sejauh mana Bank SulutGo mampu berpihak kepada kepentingan ekonomi masyarakat Gorontalo jika posisi pemegang sahamnya memang tidak dominan?
Membaca Peluang dan Tantangan Pendirian Bank Gorontalo
Persoalannya, mendirikan bank baru — khususnya Bank Pembangunan Daerah (BPD) — bukan perkara mudah. Ada regulasi ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang harus dipenuhi, terutama terkait persyaratan permodalan.
Sejak diberlakukannya POJK No. 12/POJK.03/2020, modal inti minimum untuk pendirian bank umum baru, termasuk BPD, ditetapkan sebesar Rp3 triliun.
Di sisi lain, tantangan lain seperti ketersediaan SDM profesional, kesiapan infrastruktur teknologi, serta strategi bisnis yang kuat, menjadi faktor penentu kelayakan pembentukan Bank Gorontalo.
Belajar dari Pengalaman Daerah Lain
Langkah Gorontalo untuk memisahkan diri dari Bank SulutGo sebenarnya bukan hal baru dalam dinamika BPD di Indonesia. Beberapa daerah pernah mencoba hal serupa. Bank Banten misalnya, resmi pisah dari Bank BJB pada 2016. Namun, setelah resmi berdiri, Bank Banten justru sempat mengalami krisis likuiditas, dan akhirnya harus mendapat suntikan modal besar dari APBD Provinsi Banten.
Bangka Belitung juga pernah menggagas pendirian BPD sendiri, namun hingga kini belum terwujud karena pertimbangan kesiapan modal dan kelayakan bisnis.
Papua Barat bahkan sudah menyiapkan dokumen studi kelayakan untuk pendirian BPD sendiri, tetapi sampai saat ini belum bisa terealisasi, salah satunya karena persoalan skala ekonomi yang belum ideal.
Apa yang Harus Dipersiapkan Gorontalo?
Jika Gorontalo serius ingin mendirikan bank sendiri, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan:
1. Penyusunan kajian kelayakan secara komprehensif.
2. Penyiapan modal inti minimal Rp3 triliun, dengan opsi dukungan dari APBD, swasta, atau pola kerjasama strategis.
3. Perencanaan roadmap bisnis dan kelembagaan.
4. Penguatan kapasitas SDM perbankan lokal.
5. Pembangunan infrastruktur digital banking yang kompetitif.
Yang tidak kalah penting adalah mitigasi risiko, terutama menghindari jebakan bahwa bank daerah hanya menjadi alat kepentingan politik tanpa arah bisnis yang jelas.
Realistis atau Sekadar Gagasan?
Mendirikan Bank Gorontalo adalah pilihan strategis — tetapi bukan tanpa risiko. Keputusan ini tidak bisa hanya didorong oleh sentimen identitas, ambisi politik atau kebanggaan daerah, tetapi harus berbasis pada perhitungan bisnis yang rasional, visi ekonomi jangka panjang dan keberlanjutan ekonomi.
Alternatif lain yang bisa dipertimbangkan adalah memperkuat posisi Gorontalo di Bank SulutGo melalui penambahan saham, atau mengupayakan peningkatan peran Gorontalo dalam kebijakan operasional bank.
Namun jika kajian menunjukkan potensi dan peluang pembentukan Bank Gorontalo cukup kuat, maka inilah saat yang tepat untuk memulai langkah bersejarah itu — tentu saja dengan perhitungan yang sangat matang.
Jika Gorontalo serius ingin melangkah ke arah itu, maka langkah pertama yang paling mendesak adalah penyusunan feasibility study (studi kelayakan) secara mendalam, melibatkan ahli perbankan, akademisi, dan praktisi bisnis.
Mimpi Bank Gorontalo tetap mungkin diwujudkan. Namun jalan menuju ke sana memerlukan komitmen, kecermatan, dan keberanian mengambil keputusan besar — dengan segala konsekuensinya.
Pada akhirnya, pertanyaan besarnya adalah: apakah Gorontalo sudah cukup siap?