GOSULUT.ID – Komisi 1 DPRD Provinsi Gorontalo meminta kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo agar mencabut Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2016 tentang penyelenggaraan lembaga adat.
Hal ini disuarakan sejumlah anggota Komisi para rapat kerja bersama Kantor Kesbangpol, Biro Hukum, Biro Pemerintahan dan Kesra, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Provinsi Gorontalo.
“Apalagi perda ini tidak ada cantolannya pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2017 terkait ormas, bila perlu kita mendesak Penjabat Gubernur segera menyurati Kementrian Dalam Negeri agar segera menghapusnya,” ujar Yuriko Kamaru, Selasa (19/09/2023).
Ungkapan senada juga disampaikan Adhan Dambea karena menurutnya adat Gorontalo sudah sejak dulu telah ada sehingga tidak perlu diatur-atur atau dibuatkan Perda.
“Menurut saya ini tidak dibutuhkan, untuk itu perlu ditinjau lagi bahkan seharusnya dihilangkan saja, tidak ada masalah. Mengapa, adat kita sudah ada sejak dulu makanya buat apalagi di buatkan Perda, ini tambah-tamba urusan saja,” pintanya.
Sementara itu Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Gorontalo Moh. Trizal Entengo mengungkapkan bahwa filosofi dari perda itu adalah bagaimana pemerintah mengembangkan dan melestarikan adat melalui lembaga adat yang berkedudukan diluar pemerintah.
“Sehingga lembaga adat disebut ormas dan menjadi mitra pemerintah, olehnya perda ini menyebut lembaga adat dan juga bisa mengusulkan program-program yang dilaksanakan oleh SKPD, dan saat ini kami sementara menyusun atau merancang Peraturan Gubernurnya,” tuturnya.
Namun demikian Komisi 1 tetap bersikukuh karena tidak mencantumkam UU nomor 17 tahun 2017, padahal lembaga adat yang ada saat ini bisa dikatakan adalah sebuah ormas bila mengacu pada UU itu.
Bahkan Ketua Komisi 1, AW Thalib menegaskan, Gubenur telah melakukan kekeliruan karena telah mengSKkan Lembaga Adat
“Padahal Peraturan Gubernurnya belum ada, ini kan rancu, sehingga ini cacat hukum,” sambungnya.
Politisi senior PPP ini juga meminta pergantian nomenklatur nama perda yang sebelumnya lembaga adat dirubah menjadi lembaga budaya.
“Ini supaya tidak rancu atau bersifat diskriminatif, kita beri waktu 3 Minggu kedepan bagi Tim Pengkaji, setelah itu kita lakukan pertemuan kembali,” tandasnya.